Alkisah, ada dua orang profesor yang sedang berdebat panjang lebar tentang ilmu mereka. Satu sama lain berusaha mengungguli dan menjadi pemenang dalam debat tersebut. Salah satu profesor menyatakan, "Saya sudah tahu banyak hal dalam hidup ini, sudah membaca sekian banyak teori dan buku. Jadi saya tahu semuanya." Profesor yang satunya tidak mau kalah dan menyatakan hal yang sama.
Salah satu profesor tadi tinggalnya di seberang sungai. Seperti biasa ketika mau pulang, profesor tadi selalu minta bantuan si tukang perahu. Ketika mau naik perahu, profesor tadi dengan sombong bilang, "Coba tanya apa saja pasti saya akan jawab karena saya tahu semuanya...!" Namanya juga tukang perahu bodoh yang tidak berpendidikan dan tidak punya pengetahuan, ia asal saja bertanya, "Profesor tahu tentang ilmu berenang?" "Wow, tahu dong!" jawab sang profesor dan menerangkan banyak hal tentang bagaimana ilmu berenang. Sepertinya, semua teori berenang yang ia kuasai sudah disampaikan ke tukang perahu.
Nah, ketika sang profesor sedang menjelaskan semuanya, tiba-tiba badai datang yang mengakibatkan perahu yang ditumpanginya terbalik. Si profesor itu tenggelam dan megap-megap. Dia meminta tolong pada si tukang perahu yang dianggap bodoh tersebut. Si tukang perahu pun menolong sang profesor yang tidak bisa berenang, meski mengaku tahu semua tentang teori berenang.
Ilustrasi cerita di atas menggambarkan dengan jelas betapa antara TAHU dan BISA sangat jelas perbedaannya. Hal itu dijelaskan secara gamblang oleh Bob Sadino dalam buku Bob Sadino: Mereka Bilang Saya Gila!
Sekilas, membaca buku ini terasa aroma Bob Sadino yang selama ini kita kenal sebagai entrepreneur nyentrik. Ciri khas itu selalu ditampilkan dengan celana pendek jins-nya yang selalu dikenakan ke mana saja Bob beraktivitas dan menemui tamu-tamunya. Tak jarang penampilannya itu memunculkan keheranan banyak orang yang melihatnya. Seperti terlihat dalam lampiran buku ini (hlm. 178-199).
Buku yang ditulis secara apik oleh Edy Zaqeus ini benar-benar menceritakan sosok Bob Sadino sebagai entrepreneur sejati. Bahkan saya menyebutnya Bob adalah begawan entrepreneur Indonesia. Jiwa entrepreneurship Bob sudah mulai tampak ketika dia lulus SMA pada 1953 (umur 20 tahun). Saat itu Bob merasa gelisah karena bekerja pada orang lain (Unilever dan Djakarta Llyod) yang membuatnya tidak merasakan kebebasan dalam berkarya.
Pertentangan batin itu membuat Bob Sadino muda memutuskan keluar dari perusahaannya dan keluar dari zona kenyamanan hidup yang ia miliki saat itu. Tahun 1967 (umur 34 tahun), Bob memulai hidupnya dari nol lagi. Yang mengherankan, saat itu Bob muda memilih untuk "memiskinkan diri" karena menurutnya selama ini ia merasa hidup serba tercukupi. Karena itu, ia kemudian ingin merasakan menjadi orang miskin! Sungguh sebuah revolusi mental yang luar biasa yang tidak dimiliki anak muda sekarang.
Dengan pilihan miskin itu, Bob seperti mendapat pelajaran yang berharga. Sampai akhirnya Bob menemukan hidupnya kembali ketika ia mulai berbisnis telur ayam negeri. Dari sinilah kesuksesan bisnis Bob Sadino dimulai. Yang bisa menjadi pelajaran kita semua adalah ketahanan mental (persistent factor) Bob Sadino yang membawanya sampai ke puncak bisnis seperti saat ini. Inilah yang belum banyak dimiliki pebisnis pemula di Indonesia.
Buku yang tediri dari 11 bab dan 201 halaman (plus 14 halaman pembuka) ini, sarat akan pikiran dan kisah hidup Bob Sadino. Namun, jika kita memerasnya, ada satu saripati yang bisa kita nikmati, yaitu Roda Bob Sadino (RBS). Saya lebih suka menyebutnya The Entrepreneur Quadrant ala Bob Sadino. Di dalam RBS dijelaskan perbedaan antara orang TAHU, BISA, TERAMPIL, dan AHLI (hlm. 13-31).
Ilustrasi di awal tulisan ini menjelaskan betapa belajar ilmu TAHU tidak cukup jika tidak belajar ilmu BISA. Perguruan tinggi (PT) Indonesia, menurut Bob, adalah pabrik ilmu TAHU dan bukan ilmu BISA. Akibatnya PT gagal menjawab masalah pengangguran di Indonesia. Sebab, lulusan yang dihasilkan tidak mampu memenuhi kebutuhan pasar.
Oleh karena itu, hadirnya buku ini semakin menyakinkan kita semua bahwa pilihan hidup menjadi entrepreneur adalah pilihan tepat untuk mengurangi pengangguran dan kemiskinan di Indonesia. Kita harus menyakini pilihan itu. Ingat petuah bijak: what you get is what you believe (Jika Anda yakin maka Anda akan mendapatkan apa pun yang Anda inginkan).
Figur Bob Sadino yang ditulis dalam buku ini menjadi motivasi dan penyemangat hidup. Apa pun kegagalan yang kita alami harus kita lalui dengan baik. "Cukup satu langkah awal, ada kerikil saya singkirkan. Melangkah lagi. Bertemu duri saya sibakkan. Melangkah lagi. Terhadang lubang saya saya lompati. Melangkah lagi. Bertemu api saya mundur. Melangkah lagi. Maju dan berjalan terus mengatasi masalah." Itulah pesan moral Bob Sadino, si pengusaha gila itu. Bagaimana menurut Anda? (*)
Selasa, 14 Desember 2010
Entrepreuneur Sejati
Pertama, miliki kemauan untuk menjadi pengusaha atau wiraswasta. Ini sandaran yang paling awal dan mutlak sifatnya. “Karena, kemauan inilah yang menjadi titik berangkat Anda saat hendak memasuki kuadran BISA atau kuadran MASYARAKAT. Nah, kemauan yang bagaimana? Kemauan yang kuat. Tidak ada kemauan kuat, lupakan saja!” . Bob mengibaratkan sandaran kemauan berwiraswasta itu sebagai sebuah mobil. Untuk melaju di jalan wiraswasta, orang membutuhkan sandaran mobil tadi. Tetapi, mobil itu pasti tidak bisa beranjak kemanapun atau melaju dengan kecepatan tinggi, kalau tidak diisi dengan bensin beroktan tinggi. “Nah, bensin beroktan tinggi itu adalah adanya tekad yang sangat kuat untuk menjadi wiraswastawan. Itulah sandaran kedua, yang kita kenal juga dengan istilah komitmen yang kuat, atau dalam bahasa orang-orang pintar itu dinamakan determination,” jelas Bob.
Setelah mobil penuh bahan bakar, barulah calon wiraswasta ini bisa menghidupkan mesinnya untuk segera menjalankan si mobil. Mengapa dibutuhkan tekad atau komitmen yang sangat kuat? Ya, karena jalan-jalan entrepreneurship itu penuh liku dan tanjakan. Bahkan, bisa dikatakan sejak di kilometer nol pun sudah langsung ada kendalanya. Artinya, hambatan maupun kesulitan atau setidak-tidaknya sesuatu hal yang dipersepsi sebagai hambatan dan kesulitan sudah menggelayuti siapa saja yang hendak terjun menjadi entrepeuner. Mau contoh? Ya, kendala modal yang dibahas dimuka tadi. Tak sedikit orang yang punya kemauan nyemplung sebagai wiraswasta, tapi karena tidak punya modal determinasi akibat persepsi ketidaan modal. Akhirnya mundur dan menanggalkan kemauannya sendiri.
Mobil sudah dipenuhi bensin beroktan tinggi, dan mesinpun sudah dipanasi, sandaran apalagi yang dibutuhkan? Tibalah kita pada sandaran yang ketiga, yaitu keberanian mengambil peluang. Mobil sudah ada, bensin oktan tinggi sudah penuh, dan mesin pun sudah dipanasi, tapi kalau tidak berani memulai dengan mengambil peluang dan resiko .. sama saja tidak ada artinya. Tidak berani mengambil peluang, berarti orang tidak bergulir atau tidak beranjak dari tempatnya semula. Ibarat bandul jam yang berhenti, itu menunjukan bahwa jamnya mati, jam yang menyesatkan dan tidak berguna. Menurut Bob, Peluang dan resiko menyatu, seperti dua sisi dari keping mata uang yang sama. Peluang adalah potensi pergerakan yang membuahkan beragam akibat. Itulah yang harus dimanfaatkan untuk menggulirkan kehidupan manusia wiraswasta. “ kalau menggunakan diagram Roda Bob Sadino,calon entrepreneur itu harus bergulir, terus membandulkan diri dan bergerak memutari roda kehidupan. Jika tidak, ia seperti orang mati saja ,“ tegasnya. Apalagi seseorang sudah memiliki tiga sandaran di atas, sebenarnya dia sudah menggulirkan dirinya menjadi wiraswastawan.
Orang itu sudah jalan, namun itu belum cukup apabila dia belum memiliki sandaran keempat, yaitu tahan banting dan tidak cengeng. Sebagaimana sering diungkapkan oleh Bob dalam berbagai forum, wiraswastawan itu berkubang dengan hambatan, tantangan, risiko, dan kegagalan. Orang perlu daya tahan yang luar biasa untuk memenangkan pertarungan tersebut. Semakin banyak jam terbang dia dalam menghadapi bantingan demi bantingan, makin matang pula kehidupannya di kancah wiraswasta.
Terkait dengan sandaran tahan banting dan tidak cengeng ini adalah suatu sifat yang tampak jadi sangat utama di mata Bob, yaitu kemandirian. “Di forum-forum saya sering mendapat permintaan bantuan ini dan itu untuk memulai usaha. Kalau begitu caranya, saya bilang jangan pernah jadi entrepeneur! Entrepreneur tidak tergantung pada orang lain. Entrepreneur itu merdeka, ia bebas, mandiri. Kalau masih meminta-minta atau mengemis bantuan, apalagi sampai memaksa, itu cengeng namanya,” tegas Bob. Itu sebabnya , ketika ditanya perlukah campur tangan pemerintah untuk membesarkan usaha-usaha kecil supaya bisa menjadi besar dan mampu bersaing di kancah nternasional, Bob menyatakan, “Tidak perlu! Ada atau tidak ada campur tangan pemerintah, wiraswasta itu jalan terus, tidak boleh berhenti. Semakin sedikit campur tangan pemerintah, semakin tidak cengeng pula mereka. Entrepreneur sejati tidak menunggu bantuan. Disokong atau tidak disokong, jalan terus dia… Tapi, itu menurut Bob Sadino, lho….”
Setelah mobil penuh bahan bakar, barulah calon wiraswasta ini bisa menghidupkan mesinnya untuk segera menjalankan si mobil. Mengapa dibutuhkan tekad atau komitmen yang sangat kuat? Ya, karena jalan-jalan entrepreneurship itu penuh liku dan tanjakan. Bahkan, bisa dikatakan sejak di kilometer nol pun sudah langsung ada kendalanya. Artinya, hambatan maupun kesulitan atau setidak-tidaknya sesuatu hal yang dipersepsi sebagai hambatan dan kesulitan sudah menggelayuti siapa saja yang hendak terjun menjadi entrepeuner. Mau contoh? Ya, kendala modal yang dibahas dimuka tadi. Tak sedikit orang yang punya kemauan nyemplung sebagai wiraswasta, tapi karena tidak punya modal determinasi akibat persepsi ketidaan modal. Akhirnya mundur dan menanggalkan kemauannya sendiri.
Mobil sudah dipenuhi bensin beroktan tinggi, dan mesinpun sudah dipanasi, sandaran apalagi yang dibutuhkan? Tibalah kita pada sandaran yang ketiga, yaitu keberanian mengambil peluang. Mobil sudah ada, bensin oktan tinggi sudah penuh, dan mesin pun sudah dipanasi, tapi kalau tidak berani memulai dengan mengambil peluang dan resiko .. sama saja tidak ada artinya. Tidak berani mengambil peluang, berarti orang tidak bergulir atau tidak beranjak dari tempatnya semula. Ibarat bandul jam yang berhenti, itu menunjukan bahwa jamnya mati, jam yang menyesatkan dan tidak berguna. Menurut Bob, Peluang dan resiko menyatu, seperti dua sisi dari keping mata uang yang sama. Peluang adalah potensi pergerakan yang membuahkan beragam akibat. Itulah yang harus dimanfaatkan untuk menggulirkan kehidupan manusia wiraswasta. “ kalau menggunakan diagram Roda Bob Sadino,calon entrepreneur itu harus bergulir, terus membandulkan diri dan bergerak memutari roda kehidupan. Jika tidak, ia seperti orang mati saja ,“ tegasnya. Apalagi seseorang sudah memiliki tiga sandaran di atas, sebenarnya dia sudah menggulirkan dirinya menjadi wiraswastawan.
Orang itu sudah jalan, namun itu belum cukup apabila dia belum memiliki sandaran keempat, yaitu tahan banting dan tidak cengeng. Sebagaimana sering diungkapkan oleh Bob dalam berbagai forum, wiraswastawan itu berkubang dengan hambatan, tantangan, risiko, dan kegagalan. Orang perlu daya tahan yang luar biasa untuk memenangkan pertarungan tersebut. Semakin banyak jam terbang dia dalam menghadapi bantingan demi bantingan, makin matang pula kehidupannya di kancah wiraswasta.
Terkait dengan sandaran tahan banting dan tidak cengeng ini adalah suatu sifat yang tampak jadi sangat utama di mata Bob, yaitu kemandirian. “Di forum-forum saya sering mendapat permintaan bantuan ini dan itu untuk memulai usaha. Kalau begitu caranya, saya bilang jangan pernah jadi entrepeneur! Entrepreneur tidak tergantung pada orang lain. Entrepreneur itu merdeka, ia bebas, mandiri. Kalau masih meminta-minta atau mengemis bantuan, apalagi sampai memaksa, itu cengeng namanya,” tegas Bob. Itu sebabnya , ketika ditanya perlukah campur tangan pemerintah untuk membesarkan usaha-usaha kecil supaya bisa menjadi besar dan mampu bersaing di kancah nternasional, Bob menyatakan, “Tidak perlu! Ada atau tidak ada campur tangan pemerintah, wiraswasta itu jalan terus, tidak boleh berhenti. Semakin sedikit campur tangan pemerintah, semakin tidak cengeng pula mereka. Entrepreneur sejati tidak menunggu bantuan. Disokong atau tidak disokong, jalan terus dia… Tapi, itu menurut Bob Sadino, lho….”
Senin, 13 Desember 2010
Swasembada Daging 2014
Swasembada daging 2014, Mungkinkah?
Saat ini, sekitar 40 % kebutuhan daging sapi nasional dipenuhi dari impor. Diawal pemerintahannya SBY-JK (2004) telah menargetkan swasembada daging akan tercapai pada tahun 2005 kemudian di revisi mencapaiannya tahun 2010. Menurut Menteri Pertanian yang dulu di Jabat Anton Apriyantono, bahwasannya program swasembada daging 2010 gagal dicapai di sebabkan lambatnya laju pertambahan populasi ternak dibandingkan konsumsi. Walaupun salah satu kebijakannya melarang mengekspor sapi potong untuk mendukung tercapai swasembada daging 2010 kecuali dalam bentuk daging dan apabila dalam bentuk hidup harus yang jantan dan sudah dimandulkan.
Nah, pada tahun 2009 ini Menteri Pertanian yang sekarang di Jabat oleh Ir. H. Suswono, MMA memaparkan program-programnya dalam mendukung swasembada daging 2014 di dalam seminar nasional pengembangan ternak potong untuk mewujudkan program kecukupan/swasembada daging di Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Sabtu (7/11). Program Suswono dalam rangka mewujudkan swasembada daging 2014 antara lain:
- Memperbanyak jumlah populasi sapi induk melalui program kredit usaha pembibitan sapi.
- Memanfaatkan lahan-lahan yang masih potensial untuk peternakan. Integrasi perkebunan sawit dengan peternakan sapi diproyeksikan dapat menghasilkan 50.000 sapi dalam lima tahun.
- Meningkatkan jumlah kelahiran anak sapi menjadi 100.000 ekor dalam lima tahun.
Menurut Endang Baliarti salah satu guru besar Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada mengatakan untuk mencapai swasembada daging ada beberapa hal yang harus diperhatikan antara lain:
- Pendampingan pada peternak rakyat, hal ini mengingat lebih dari 90 % ternak sapi dipelihara oleh sekitar 6,5 juta rumah tangga di pedesaan dengan pengetahuan peternakan yang minim.
- Adanya penyediaan pakan lokal, areal perkebunan serta hutan bisa menjadi sumber pakan sapi yang sangat potensial.
Direktur Jenderal Peternakan, Tjeppy D Soedjana mengatakan kredit untuk usaha pembibitan sapi ini diberikan dengan bunga lima persen. Pelaku usaha yang mendapatkan subsidi bunga kredit adalah perusahaan, koperasi atau kelompok peternak. Namun, perusahaan dan koperasi harus bekerja sama dengan kelompok peternak. KUPS diberikan maksimal Rp 66,315 miliar dengan jangka waktu pembayaran enam tahun dan masa tenggang dua tahun. Nilai maksimum pemberian kredit itu untuk pengadaan 5.000 ekor sapi. Induk sapi untuk pembibitan bisa berasal dari sapi impor atau turunan sapi impor, tetapi bisa juga dari dalam negeri.
Dewi Sartika, Kepada Bidang Produksi Dinas Peternakan Jabar, mengungkapkan sejak diluncurkan kredit usaha peternakan sapi (KUPS) tahun ini hanya beberapa koperasi (peternak) di Jabar yang mendapatkan jatah KUPS."Yang saya tahu baru dua atau tiga peternak (koperasi) yang mendapatkan kredit tersebut dan pemerintah mengucurkan KUPS untuk pengembangan sapi potong dan sapi perah di Indonesia dengan memberikan subsidi bunga kredit 5% per tahun kepada peternak. Pemerintah menggandeng empat bank pelat merah untuk program KUPS yaitu Bank BRI, Bank BNI, Bank Mandiri, dan Bank Bukopin. "Bunga kreditnya tetap komersial, namun sisa bunga kreditnya ditanggung pemerintah. Peternak hanya membayar bunga lima persen. Itu pun dibayarkan pada tahun kedua setelah kredit cair," kata Dewi.
Sejarah Vespa
Piaggio didirikan di Genoa, Italia pada tahun 1884 oleh Rinaldo Piaggio.Bisnis Rinaldo dimulai peralatan kapal. Tapi di akhir abad, Piaggio juga memproduksi Rel Kereta, Gerbong Kereta, body Truck, Mesin dan Kereta api. Pada Perang Dunia I, perusahaannya memproduksi Pesawat Terbang dan Kapal Laut. Pada tahun 1917 Piaggio membeli pabrik baru di Pisa dan 4 tahun kemudian Rinaldo mengambil alih sebuah pabrik kecil di Pontedera di daerah Tuscany Italia. Pabrik di Pontedera inilah yang mana menjadi Pusat produksi pesawat terbangnya (baling-baling, Mesin dan Pesawat) Selama Perang Dunia II, pabrik di Pontedera membuat P108 untuk mesin Pesawat dua penumpang dan Versi Pembom.
Bangkit
Enrico Piaggio mengambil alih perusahan ayahnya (Rinaldo). Enrico memutuskan untuk fokuskan perhatian perusahaannya pada masalah personal Mobility yg dibutuhkan masyarakat Italia. Kemudian bergabunglah Corradino D’Ascanio, Insinyur bidang penerbangan yang berbakat yang merancang, mengkonsep dan menerbangkan Helikopter Modern Pertamanya Piaggio. D’Ascanio membuat rancangan yang simple,ekonomis, nyaman dan juga elegan. D’Ascanio memimpikan sebuah revolusi kendaraan baru. Dengan mengambil gambaran dari tehnologi pesawat terbang, dia membayangkan sebuah kendaraan yang dibangun dengan sebuah “Monocoque” atau Unibody Steel Chassis. Garpu depan seperti Ban mendarat sebuah pesawat yang mana mudah untuk penggantian ban. Hasilnya sebuah design yg terinspirasi dari pesawat yang yang sampai saat ini berbeda dengan kendaraan yang lain. Saat melihat kendaraan itu, Enrique Piaggio berkata “ Sambra Una Vespa” ( terlihat seperti Tawon ). Frame depan dirancang untuk melindungi pengendara dari debu jalanan. Pada Akhir 1949, telah di produksi 35000 unit dan dalam 10 tahun telah memproduksi 1 Juta unit dan pada pertengahan tahun 1950, vespa telah diproduksi di German, Great Britain, Prancis, Belgia, Spanyol dan tentu di Italia. Selama tahun 1960-an dan 1970-an Vespa menjadi simbol dari revolusi gagasan pada waktu itu. Dan cerita terus berlanjut saat ini dengan model generasi baru Vespa, mempersembahkan Vespa ET2, Vespa ET4, Vespa Granturismo dan Vespa PX150. Vespa bukan hanya sekedar Scooter tapi salah satu Icon besar orang Italia.
Langganan:
Postingan (Atom)